Seunuddon

Mane Kawan

Minggu, 28 November 2010

hadist

ULUMUL HADIST A. Pengertian ulumul hadist dan kegunaan a. pengertian ulumul hadist Menurut ulama mutaqaddimin, ilmu hadist adalah: علم يبحث فية عن كيفية ا تص ل الأ حا د يث با لر سول صل الله عليه وسلم من حيث مصر فة ا حو ال روا تها ضبطا وعد الة ومن حيث كيفية السخّد Yang berarti “ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadist sampai kepada rasul SAW dari segi ihwal para perawinya, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya. Sedangkan arti hadist itu sendiri adalah, hadist ,menurut bahasa berarti الجديد yang berarti sesuatu yang baru. Lawannya القد يمyang artinya menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حد يث العهدءفي الاسلام yang berarti orang yang baru masuk atau memeluk agama islam. Hadist juga di sebutابحبر yang berarti berita, yaitu sesuatu yang di ucapkan dan di pindahkan dari seseorang kepada orang lain. Jelas fakta tersebut menunjukkan kata hadist memiliki makna perkataan, cerita maupun kisah bermakna komunikatif atau pengungkapan tentang hadist lebih mendominasi seluruh bentuk komunikasi dan pemberitaan. Karena itu secara induktif kata hadist di gunakan nyaris secara eksklusif untuk mengungkapkan narasi tentang atau dari nabi. Dari sudut istilah, di kemukakan secara teoritis oleh ulama dengan memberikan pengartian hadist yang berbeda-beda. Seorang ahli fiqih, ibn al-subki dalam memberikan pengertian hadist juga menyebutkan dengan istilah al-sunnah, yang artinya adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Ibnu al-subki tidak memasukkan taqrir (penetapan) Nabi sebagai bagian dari rumusan definisi hadist. Alasannya, bahwa taqrir sudah tercakup dalam af’al (perbuatan) Nabi, kalau saja kata taqrir dinyatakan secara eksplisit, maka rumusan definisi akan menjadi gaya mani’, yakni tidak terhindar dari sesuatu yang tidak didefinisikan. Bila diperhatikan, ibnu al-subki sebenarnya tidak mengingkari taqrir sebagai bagian dari hadist. Akan tetapi, pendapatnya yang memasukkan taqrir ke dalam bagian af’al (perbuatan) bisa mengelirukan bentuk hadist Nabi itu sendiri. Sebab meskipun dari sudut hukumnya taqrir Nabi berbeda dengan af’al Nabi. Di samping itu, Mahfuz al-Tarmasi memberikan pengertian hadist secara istilah, yaitu apa yang berasal dari Nabi dan al-Tabi’in. Kenyataan ini, telah dikenal dengan adanya istilah hadist marfu’ (hadist yang disandarkan kepada Nabi), hadist mauquf (hadist yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi), dan hadist maq’tu (hadist yang disandarkan hanya kepada al-Tabi’in). Istilah-istilah tersebut merupakan klasifikasi hadist dipandang dari sudut sumber beritanya. Dengan demikian bisa dibedakan berita (khabar) yang sumbernya sampai kepada Nabi dan hanya sampai kepada sahabat Nabi atau Tabi’in. Jadi kata hadist dalam hal ini digunakan tidak dalam keadaan berdiri sendiri, namun dikaitkan dengan istilah tertentu. Sebagian ulama berpendapat, jika kata hadist berdiri sendiri dalam arti tidak dikaitkan dengan kata atau istilah tertentu, maka biasanya yang dimaksudkan adalah apa yang berasal dari atau disandarkan kepada Nabi. Hanya boleh jadi, kata hadist yang berdiri sendiri itu mempunyai pengertian mengenai apa yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau tabi’in. Pada umumnya ulama hadist memberi pengertian, bahwa yang dimaksud dengan hadist adalah semua sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam pengertian inilah, maka ulama hadist menyamakan hadist dengan istilah al-sunnah. Kecuali pengertian tersebut, ada pula ahli hadist berpendapat, bahwa kata hadist menunjukkan kepada makna atau sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., baik berupa perbuatan, sabda , persetujuan (taqrir) beliau mengenai sahabat, atau deskripsi tentang sifat dan karakternya. Sifat ini menunjukkan kepada penampilan kepribadian beliau. Meskipun demikian, penampilan kepribadian Nabi, menurut ahli fiqih (fuqaha’) tidak termasuk kategori hadist. Dengan demikian menurut umumnya ulama hadist, bahwa bentuk-bentuk hadist atau al-sunnah adalah segala berita (khabar) yang berkenaan dengan: (1) sabda; (2) perbuatan; (3) persetujuan; (4) hal-ihwal Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dimaksud hal-ihwal, adalah segala sifat dan pribadi. Pemastian definisi hadist yang asbah itu telah membuatnya menjadi hampir identik dengan sunnah. Sebagai kata yang berarti cerita, maka perkataan hadist pada hakikatnya bermakna laporan atau penuturan tentang Nabi. Tapi sebagai istilah teknis penuturan (periwayatan, al-riwayah), yang sering dipandang sebagai pengimbang, karena itu juga diletakkan berhadapan dengan al-ra’y. Dalam pembahasan hadist tentang sekte-sekte (firqah-firqah) di sini pun, akan disinggung pula kajian riwayah di satu sisi dan ra’yu di sisi lain. Sehingga diketahui segi ilmiah hadist tersebut. B. Kedudukan dan Peranan Hadist Sebagai seorang Nabi dan rasul, Muhammad SAW. Telah berhasil membimbing umat kepada ajaran agama yang dibawanya. Sebagai kepala negara, ia telah berhasil mendirikan suatu pemerintahan islam berpusat di Madinah. Meskipun ia sukses dalam membimbing umatnya, namun dalam kehidupan sehari-harinya tetap sederhana. Bukan hal jarang, ia menjahit pakaiannya yang robek. Sudah barang tentu ia juga berstatus kepala rumah tangga yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Gambaran itu menegaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah yang merupakan personifikasi utuh dari agama, perintah dan kitab Allah, juga secara sosio-kultural memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan tuntutan umat islam secara normal. Karena itu pula pernyataan, pengalaman, persetujuan, dan hal-ihwalnya sebagai hadist menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dan peranannya, karena merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Kedudukan hadist sebagai salah satu sumber ajaran islam telah disepakati oleh seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah, hanya ada sekelompok kecil dari kalangan ulama dan umat islam yang telah menolak hadist Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka ini dikenal sebagai sebutan ingkar al-sunnah. Al-Syafi’i telah menulis bantahan terhadap argumen-argumen mereka dan membuktikan keabsahan hadist (al-sunnah) sebagai salah satu sumber ajaran agama islam. Istilah untuk golongan ingkar al-sunnah. C. Kegunaan Mempelajarinya Kegunaan mempelajarinya adalah untuk menilai apakah secara histori sesuatu yang di katakan sebagi hadist Nabi benar-benar dapat di pertangung jawabkan kesehatian berasal dari nabi ataukah tidak. Hal ini sangat penting, sebab kedudukan kualitas haist erat sesekali hubungannya dengan dapat atau tidak dapat suatu hadist di jadikan dalil atau hujjah agama Untuk keperluan penelitian kualitas hadist Nabi, para ulama telah menciptakan berbagai keadaan dan ilmu (pengetahuan) hadist, dengan kaidah ilmu hadist tsb. Maka para ulama menggadakan pembagian kualitas hadist. Selama tangga waktu sesudah Nabi wafat hingga masa penghimpunan hadist secara resmi dan massal, telah menimbulkan banyak pemalsuan hadist Nabi. Kenyataan ini mendorong ulama hadist. Untuk berusaha menghimpun hadist Nabi. Selain harus mengadakan perlawanan untuk menghubungi periwayat, yang tersebut di bagian daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terdapat semua hadist yang mereka himpun. Selain untuk mengetahui kesahihannya sebuah hadist dengan berbagai cara yang dilakukan para ulama kegunaan untuk mempelajari Ulumul Hadist. Adalah untuk mengetahui hukum-hukum atau ajaran yang tidak di dapati di dalam alqur’an karena dalam alqur’an hanya terdapat pokok-pokonya saja. Misalnya masalah menggosok gigi (siwak) yang di sunnah kan oleh Nabi SAW. Hal itu tidak terungkap secara eksplisit dan detil dalam al-qur’an. Al-qur’an hanya menegaskan masalah kebersihan secara umum. Selain itu kegunaan mempelajari Ulumul Hadist agar kita dapat : 1. Mengetahui nama-nama hadist yang makbul (dapat di terima) 2. Mengetahui nama-nama hadist yang seharusnya di tolak (mardud) 3. Mengetahui nama-nama hadist yang belum dapat di terima dan belum bisa menolaknya (hadist yang seharusnya di tawakufkan sehingga mendapat kejelasan)

Tidak ada komentar: